Sudah hampir dua tahun ini saya tinggal di Solo untuk meneruskan kuliah program transfer sarjana. Saya memilih meneruskan kuliah di Universitas Sebelas Maret (UNS) karena Undip kampus saya dulu sudah tidak membuka untuk program transfer. Sehingga saya harus hijrah ke Solo untuk dapat melanjutkan sekolah ke universitas negeri. Ya, UNS menjadi salah satu dari sedikit universitas negeri yang masih membuka program transfer untuk lulusan diploma. Sehingga banyak lulusan diploma dari berbagai universitas seperti Undip, UI, ITB, dan lainnya yang memilih untuk melanjutkan kuliahnya di UNS.
Anak Kost
Selama di Solo, saya resmi jadi anak kos. Ini salah satu cara saya untuk belajar lebih mandiri. Cari makan sendiri, cuci baju sendiri, dan lain sebagainya. Untungnya di rumah, saya sudah terbiasa melakukan pekerjaan rumah sendiri jadi nggak terlalu kaget kalo harus jauh dari orang tua. Saya menikmati menjadi anak kost. Kebebasan penuh mengatur hidup dan apa yang akan saya lakukan semuanya diserahkan ke diri saya sendiri. Mau bangun pagi atau siang, mau makan terlambat atau on time itu terserah saya. Tapi kebebasan itu tidak berarti menjadikan saya terlena dengan malas-malasan. Justru ini jadi tolak ukur kontrol diri saya. Di situasi yang serba terserah ini mampu nggak saya menjadi lebih baik dibanding sebelum jadi anak kos. Ya.. tentunya harus lebih baik, karena proses ini nggak gratis, orang tua saya membayar tidak sedikit untuk ‘pembelajaran’ ini. Kesendirian di kost membuat saya mempunyai waktu lebih untuk merenung, berpikir, dan intropeksi diri. Hal yang jarang saya lakukan saat di rumah karena berbagai gangguan. Di sini, di kamar 3x3 ini, benar-benar “me time”. Tidak ada gangguan dari siapapun sehingga lebih konsentrasi jika mengerjakan tugas atau belajar. Saya beruntung mendapatkan kos seperti sekarang ini dengan biaya standar namun mendapat fasilitas yang memuaskan. Saya tidak perlu menambah banyak barang, di sana sudah disediakan kasur springbed, kipas angin (helikopter) besar, lemari gantung, plus cermin yang besar. Sesuai seperti yang saya inginkan sebelumnya. Kos Villa Bengawan Mas yang saya tinggali ini hanya 5 menit dari kampus namun sudah masuk wilayah Karanganyar. Ada yang bilang, kok jauh sih? Nggak ambil di belakang kampus aja yang deket kalo cari makan? Hhmm.. Saya lebih mengutamakan kenyamanan lingkungan, jauh dari mana-mana nggak masalah asal nyaman ditinggalin. Sepertinya ini mirip prinsip papa saya waktu cari rumah deh. Like father like daughter ceritanya. Hehe.
Solo dan seluk beluknya
Solo menjadi kota kedua saya setelah Semarang. Banyak hal baru yang saya dapatkan dari kota ini, mulai dari kuliner, budaya, dan sebagainya.
Ternyata Kota Solo itu tidak begitu luas, diapit oleh beberapa kabupaten seperti Karanganyar dan Sukoharjo. Maka, Solo dan sekitarnya sering disebut Solo Raya. Lucunya, banyak orang yang mengaku berasal dari Solo. Ketika ditanya, Solonya mana? Ternyata dari Sukoharjo, Karanganyar, Boyolali atau Wonogiri. Nama besar Solo jadi magnet bagi masyarakat Solo Raya rupanya.
Saya sangat enjoy keluar masuk terminal di Kota Solo. Padahal dulu saya nggak pernah naik bis sendiri kecuali bis executive, apalagi ke terminal. Terminal di benak saya dahulu adalah kawasan yang rawan, banyak copet dan segala macam kriminal. Namun berbeda dengan Terminal Tirtonadi Solo. Saat menginjakkan kaki pertama kali di Terminal Tirtonadi, kita sudah disambut dengan beberapa tukang becak yang ramah yang siap mengantarkan kita atau sekedar memberikan informasi yang kita butuhkan. Pertama kali saya ke Terminal Tirtonadi yaitu pada saat pendaftaran kuliah sekitar bulan September 2012. Terminal masih bangunan lama agak kotor dan kumuh. Tapi sekarang seperti bandara : rapi, bersih, tertata, modern, ber-AC, dan dilengkapi fasilitas yang baik. Menunggu bis bisa sambil nonton TV, minum ice blended, suhunya tidak bikin gerah, dan tergolong tidak ramai karena yang diperbolehkan masuk hanya penumpang. Semoga terminal di Indonesia bisa meniru Terminal Tirtonadi ini yang mulai berbenah.
Dari segi kulinernya, Solo sedikit berbeda dengan Semarang, walaupun jaraknya tergolong dekat. Misalnya masalah penyebutan nama makanan. Di Solo, bubur itu identik dengan bubur lemu atau bubur beras yang biasanya disajikan dengan sayur terik. Sedangkan bubur (manis) di Solo memiliki nama lain yaitu Jenang. Jenang yang dimaksud ya semacam bubur manis di Semarang seperti bubur mutiara, ketan hitam, bubur candil, dan lainnya. Mendengar istilah jenang untuk sebutan bubur memang membuat mengerutkan dahi. Lalu timbul pertanyaan, kalau jenang khas kudus disebut apa? Ya tetap jenang. Ohh begitu.. jadi jenang ada dua makna kalo di Solo ya..
Ada kejadian menarik saat saya membeli rujak di Solo. Hari itu cuaca panas, lalu saya kepikiran pengen makan rujak. Akhirnya saya ke salah satu tukang rujak di Solo. “Bu pesen rujak 1 yang pedes ya..” pinta saya. Si tukang rujak pun mulai membuatkan rujak pesenan saya. Saya amati, ibu tukang rujak kok memarut buah-buahan ya? padahal kan saya nggak pesan rujak parut/cacah. Lalu saya tanya, “Bu, kok rujaknya diparut? Yang dipotong2 biasa aja...”. Ibu tukang rujaknya jawab, “Lho ini kan rujak mbak.. kalo dipotong2 itu namanya lotis.” Oalahh.. ternyata kalau di Solo, rujak potong itu namanya lotis, sedangkan rujak parut itu disebut rujak. Akhirnya saya dibuatkan lotis, rujak yang saya pesan untungnya dibeli orang.
Menurut saya, Solo termasuk kota yang tenggang rasanya tinggi. Mereka sangat menghargai perbedaan dan budaya atau kebiasaan yang dianut oleh masing-masing orang. Misalnya diperbolehkan secara terang-terangan berjualan olahan daging babi dan anjing di Kota Solo. Berbeda dengan di Semarang, kuliner jenis ini masih dianggap tabu bagi sebagian orang sehingga belum banyak pedagang yang menjual kuliner tersebut. Kalau saya bilang, Solo itu non stop kuliner deh. 24 jam ada aja yang berjualan makanan. Bahkan ada yang berjualan makanan pada jam-jam unik seperti gudeg ceker mbak yus jam 10 malam atau gudeg ceker daerah Margoyudan jam 02.00 dini hari. Sebelum jam tersebut, jangan harap penjualnya mau melayani pembeli walaupun makanan sudah ditata rapi.
Yang bikin iri dari kota Solo adalah banyaknya event budaya yang digelar tiap tahunnya. Jadi tiap bulan ada beberapa agenda acara terkait budaya misalnya kirab 1 Suro, festival jenang, Solo Batik Carnival, Solo International Performing Art, Rock in Solo, dan masih banyak lagi. Kota Solo bisa dibilang surganya hiburan budaya. Nggak kalah sama Bali dan Jogja deh.
Oh ya, saya juga sempat merasakan hujan abu lho di Solo. Hujan abu terjadi saat Gunung Kelud di Jawa Timur erupsi pada 13 Februari 2014. Tengah malam jam setengah 12 udah kerasa ada dentuman keras seperti gemuruh geludug. Pas udah subuh, buka jendela kamar, kok tanamannya putih. Ahh paling ini efek saya nggak pake kacamata. Karena penasaran, saya pake kacamata, ehh bener tanamannya udah kayak kena salju gitu. Berasa di luar negeri pokoknya abu kecil-kecil jatih dari langit, atap rumah, tanaman, motor pun ikut putih semua berselimut debu vulkanik. Dalam keadaan kayak gitu, masih kepikiran buat ke kampus. Lewat salah satu sosial media, teman pada kasih info kalau jarak pandang di jalan udah terbatas, jalanan berdebu tebal, debu yang bertebaran bikin sesak napas. Pokoknya saat itu dihimbau untuk tetap berada di rumah aja. Bahkan provider telkomsel ikut kirim SMS yang intinya bagi warga kota Solo untuk tetap di rumah dan jika beraktivitas diluar diharap menggunakan masker. Olalaa, padahal saat itu hari Jumat, jadwalnya saya pulang kampung ke Semarang. Tapi berhubung keadaan genting seperti itu akhirnya memutuskan untuk menunda sehari untuk pulang. Dan sehari setelah itu, jalanan Solo seperti kota mati : sepi, pemandangan putih semua, sedikit aktivitas warga di luar, warung toko pada tutup. Saya seperti main di film perang, berada di kota yang habis dibumi-hanguskan oleh musuh. Dari kos menuju ke terminal saya senyum-senyum sendiri namun sedikit was-was. Masker yang saya pakai rangkap 3 dan pake jas hujan untuk menghindari debu menempel ke pakaian saya. Seminggu setelah itu, kota Solo ternyata belum juga bisa bersih dari debu. Dan kami sangaaattt merindukan hujan saat itu untuk meluluhkan debu. Kamar kos saya saja mau disapu dan dipel berapa kali juga nggak ngaruh, tetap saja ada debu vulkanik dimana-mana. Begitu hujan turun, alhamdulillah.... bersyukur banget. Padahal biasanya kita sebal ya kalo hujan turun. Begitu dikasih musibah dikit aja langsung ingat betapa nikmatnya karunia Allah lewat hujan. Subhanallah.
Last but not least, terima kasih Surakarta yang telah memberikan pengalaman dan pengetahuan kepada saya dengan aneka seluk-beluknya.... Solo the spirit of java.
Saya sangat enjoy keluar masuk terminal di Kota Solo. Padahal dulu saya nggak pernah naik bis sendiri kecuali bis executive, apalagi ke terminal. Terminal di benak saya dahulu adalah kawasan yang rawan, banyak copet dan segala macam kriminal. Namun berbeda dengan Terminal Tirtonadi Solo. Saat menginjakkan kaki pertama kali di Terminal Tirtonadi, kita sudah disambut dengan beberapa tukang becak yang ramah yang siap mengantarkan kita atau sekedar memberikan informasi yang kita butuhkan. Pertama kali saya ke Terminal Tirtonadi yaitu pada saat pendaftaran kuliah sekitar bulan September 2012. Terminal masih bangunan lama agak kotor dan kumuh. Tapi sekarang seperti bandara : rapi, bersih, tertata, modern, ber-AC, dan dilengkapi fasilitas yang baik. Menunggu bis bisa sambil nonton TV, minum ice blended, suhunya tidak bikin gerah, dan tergolong tidak ramai karena yang diperbolehkan masuk hanya penumpang. Semoga terminal di Indonesia bisa meniru Terminal Tirtonadi ini yang mulai berbenah.
Dari segi kulinernya, Solo sedikit berbeda dengan Semarang, walaupun jaraknya tergolong dekat. Misalnya masalah penyebutan nama makanan. Di Solo, bubur itu identik dengan bubur lemu atau bubur beras yang biasanya disajikan dengan sayur terik. Sedangkan bubur (manis) di Solo memiliki nama lain yaitu Jenang. Jenang yang dimaksud ya semacam bubur manis di Semarang seperti bubur mutiara, ketan hitam, bubur candil, dan lainnya. Mendengar istilah jenang untuk sebutan bubur memang membuat mengerutkan dahi. Lalu timbul pertanyaan, kalau jenang khas kudus disebut apa? Ya tetap jenang. Ohh begitu.. jadi jenang ada dua makna kalo di Solo ya..
Ada kejadian menarik saat saya membeli rujak di Solo. Hari itu cuaca panas, lalu saya kepikiran pengen makan rujak. Akhirnya saya ke salah satu tukang rujak di Solo. “Bu pesen rujak 1 yang pedes ya..” pinta saya. Si tukang rujak pun mulai membuatkan rujak pesenan saya. Saya amati, ibu tukang rujak kok memarut buah-buahan ya? padahal kan saya nggak pesan rujak parut/cacah. Lalu saya tanya, “Bu, kok rujaknya diparut? Yang dipotong2 biasa aja...”. Ibu tukang rujaknya jawab, “Lho ini kan rujak mbak.. kalo dipotong2 itu namanya lotis.” Oalahh.. ternyata kalau di Solo, rujak potong itu namanya lotis, sedangkan rujak parut itu disebut rujak. Akhirnya saya dibuatkan lotis, rujak yang saya pesan untungnya dibeli orang.
Menurut saya, Solo termasuk kota yang tenggang rasanya tinggi. Mereka sangat menghargai perbedaan dan budaya atau kebiasaan yang dianut oleh masing-masing orang. Misalnya diperbolehkan secara terang-terangan berjualan olahan daging babi dan anjing di Kota Solo. Berbeda dengan di Semarang, kuliner jenis ini masih dianggap tabu bagi sebagian orang sehingga belum banyak pedagang yang menjual kuliner tersebut. Kalau saya bilang, Solo itu non stop kuliner deh. 24 jam ada aja yang berjualan makanan. Bahkan ada yang berjualan makanan pada jam-jam unik seperti gudeg ceker mbak yus jam 10 malam atau gudeg ceker daerah Margoyudan jam 02.00 dini hari. Sebelum jam tersebut, jangan harap penjualnya mau melayani pembeli walaupun makanan sudah ditata rapi.
Yang bikin iri dari kota Solo adalah banyaknya event budaya yang digelar tiap tahunnya. Jadi tiap bulan ada beberapa agenda acara terkait budaya misalnya kirab 1 Suro, festival jenang, Solo Batik Carnival, Solo International Performing Art, Rock in Solo, dan masih banyak lagi. Kota Solo bisa dibilang surganya hiburan budaya. Nggak kalah sama Bali dan Jogja deh.
Oh ya, saya juga sempat merasakan hujan abu lho di Solo. Hujan abu terjadi saat Gunung Kelud di Jawa Timur erupsi pada 13 Februari 2014. Tengah malam jam setengah 12 udah kerasa ada dentuman keras seperti gemuruh geludug. Pas udah subuh, buka jendela kamar, kok tanamannya putih. Ahh paling ini efek saya nggak pake kacamata. Karena penasaran, saya pake kacamata, ehh bener tanamannya udah kayak kena salju gitu. Berasa di luar negeri pokoknya abu kecil-kecil jatih dari langit, atap rumah, tanaman, motor pun ikut putih semua berselimut debu vulkanik. Dalam keadaan kayak gitu, masih kepikiran buat ke kampus. Lewat salah satu sosial media, teman pada kasih info kalau jarak pandang di jalan udah terbatas, jalanan berdebu tebal, debu yang bertebaran bikin sesak napas. Pokoknya saat itu dihimbau untuk tetap berada di rumah aja. Bahkan provider telkomsel ikut kirim SMS yang intinya bagi warga kota Solo untuk tetap di rumah dan jika beraktivitas diluar diharap menggunakan masker. Olalaa, padahal saat itu hari Jumat, jadwalnya saya pulang kampung ke Semarang. Tapi berhubung keadaan genting seperti itu akhirnya memutuskan untuk menunda sehari untuk pulang. Dan sehari setelah itu, jalanan Solo seperti kota mati : sepi, pemandangan putih semua, sedikit aktivitas warga di luar, warung toko pada tutup. Saya seperti main di film perang, berada di kota yang habis dibumi-hanguskan oleh musuh. Dari kos menuju ke terminal saya senyum-senyum sendiri namun sedikit was-was. Masker yang saya pakai rangkap 3 dan pake jas hujan untuk menghindari debu menempel ke pakaian saya. Seminggu setelah itu, kota Solo ternyata belum juga bisa bersih dari debu. Dan kami sangaaattt merindukan hujan saat itu untuk meluluhkan debu. Kamar kos saya saja mau disapu dan dipel berapa kali juga nggak ngaruh, tetap saja ada debu vulkanik dimana-mana. Begitu hujan turun, alhamdulillah.... bersyukur banget. Padahal biasanya kita sebal ya kalo hujan turun. Begitu dikasih musibah dikit aja langsung ingat betapa nikmatnya karunia Allah lewat hujan. Subhanallah.
Last but not least, terima kasih Surakarta yang telah memberikan pengalaman dan pengetahuan kepada saya dengan aneka seluk-beluknya.... Solo the spirit of java.